LANDASAN TEORI
Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang
perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan,
yaitu menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya.
Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank
sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan
menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
giro, tabungan, dan deposito. Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik
seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat. Kegiatan
menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan
jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama
tersebut.
SEJARAH PERBANKAN DI INDONESIA
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman
penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan
di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche
Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang
monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeriserta
terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda.
Bank-bank yang ada itu antara lain:
- De Javasce NV.
- De Post Poar Bank.
- Hulp en Spaar Bank.
- De Algemenevolks Crediet Bank.
- Nederland Handles Maatscappi (NHM).
- Nationale Handles Bank (NHB).
- De Escompto Bank NV.
- Nederlansche Indische Handelsbank
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan
orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut
antara lain:
- NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
- Bank Nasional indonesia.
- Bank Abuan Saudagar.
- NV Bank Boemi.
- The Chartered Bank of India, Australia and China
- Hongkong & Shanghai Banking Corporation
- The Yokohama Species Bank.
- The Matsui Bank.
- The Bank of China.
- Batavia Bank.
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan
berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah
Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:
- NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP), didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung
- Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI ’46.
- Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
- Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
- Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
- Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
- Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
- NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
- Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
- Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok
pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syariah, dan juga Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS).
PERKEMBANGAN BANK DI
INDONESIA
Perkembangan I
Sebelum
kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan
internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang
digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah
terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam
meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam
maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai
standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.
Sementara itu
pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah
penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. sejak
jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan
tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh
Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong
munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya pada
akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan
industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan
ekspor ke wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu
tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga
perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara
bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773),
Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.
Munculnya Malaka
sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis yang
akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah
timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi bangsa
Spanyol yang datang melalui Filipina. Beberapa saat kemudian bangsa Belanda
juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan
Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun
perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia
pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di
Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi
De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank
pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah
mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara
diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman
William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu Inggris
mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi
pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan
Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa
semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu
Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah
oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes, dan van
der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan
di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang
mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Perkembangan II.
Gagasan
pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang
keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia
Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan
penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada
saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak
didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun
demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I
menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9
Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu,
atau lazim disebut oktroi.
Dengan surat
kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB.
Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph
Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang
oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828
dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte
pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de
Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Oktroi merupakan
ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama
berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan
diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB
melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta
pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah menjadi
Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap
sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir hingga
berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak
mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada
perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi kedelapan
berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai
dengan 31 Maret 1922.
Perkembanngan III..
Pada 31 Maret
1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini kemudian
diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930.
Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi
kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15
tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada
pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode
DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan
sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain
itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur
pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan
oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB
terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris,
bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini
DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain: Bandung, Cirebon,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan,
Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor
perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai
landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1
Juli 1953.
Perkembangan IV
Pecahnya Perang
Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer Jepang
segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara.
Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha
Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika
Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah
menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa
penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942,
diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran
kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang
untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa
perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura
untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di
Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan tugas
bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank
Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah
ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank
sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan
tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak
di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai
pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4
milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai
yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus 1945,
juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari
uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri
dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan Maret
1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar
delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan
memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.
Perkembangan V.
Setelah Jepang
menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal
Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank
Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomi-moneter.
Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda kembali mencoba
menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah Indonesia terdapat
dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan
Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Selanjutnya
NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan
DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak
lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring dengan
dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia. Sementara itu di
wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank
Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara
Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi perang kemerdekaan dan
terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi.
Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia. Periode ini
ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai
bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia
sebagai bank pembangunan.
Perkembangan VI.
Pada Desember
1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan
Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De
Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada
tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB
tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah
mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi perekonomian
Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai bank
sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian
Indonesia. Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1
Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan
nama Bank Indonesia.
Sebelum
berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran
berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat perekonomian negara
pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi
cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu, pada periode ini,
pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan Indonesia melalui
pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut berperan aktif
dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana
kegiatan perbankan. Banyaknya jenis mata uang yang beredar memaksa pemerintah
melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat,
pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan uang Republik
Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama
berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische Muntwet 1912
diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata Uang 1951.
0 komentar:
Posting Komentar