1. Pemerintahan Orde
Lama
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, banyak sudah tokok-tokoh negara
saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia,
baik secara individu maupun diskusi kelompok.
Sebagai contoh, Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan ide, bahwa
dasar perekonomian Indonesia yang sesuai dengan cita-cita tolong menolong
adalah koperasi, namun bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan
secara koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi Indonesia saat itu, Sumitro
Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun 1949, menegaskan bahwa yang
dicita-citakan adalah semacam ekonomi campuran. Namun demikian dalam proses
perkembangan berikutnya disepakatilah suatu bentuk ekonomi yang baru, dinamakan
sebagai Sistem Ekonomi Pancasila, yang didalamnya mengandung
unsur pentinga yang disebut Demokrasi Ekonomi.
Terlepas dari sejarah yang akan menceritakan yang akan mencerminkan keadaan
yang sesungguhnya pernah terjadi di Indonesia, maka menurut UUD’45, sistem
perekonomian Indonesia tercermin dalam pasal-pasal 23, 27, 33. Dan 34.
Demokrasi Ekonomi dipilih, karena mempunyai ciri-ciri positif yang
diantaranya adalah (Suroso, 1993) :
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak, dikuasai oleh negara.
- Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan pemufakatan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat, serta pengawasan terhadap kebijaksanaannya
ada pada lembaga-lembaga perwakilan pula.
- Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki
serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
- Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatnnya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat.
- Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan
sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
- Fakir miskin serta anak terlantar, dipelihara oleh pemerintah.
Sistem perekonomian di Indonesia sangat menentang adanya sistem Free Fight Liberalism, Etatisme
(Ekonomi Komando) dan Monopoli, karena sistem ini memang tidak sesuai
dengan sitem ekonomi yang dianut Indonesia (bertentangan).
Free fight liberalism : Sistem kebebasan usaha yang tidak terkendali,
sistem ini dianggap tidak cocok dengan kebudayaan Indonesia dan
berlawanan dengan semangat gotong-royong yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal
33, dan dapat mengakibatkan
semakin besarnya jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin.
Etatisme : Suatu paham dalam pemikiran politik yang
menjadikan negarasebagai pusat
segala kekuasaan. Negara adalah sumbu yang menggerakkan seluruh elemen politik
dalam suatu jalinan rasional, yang dikontrol secara ketat dengan menggunakan
instrumen kekuasaan. Keikutsertaan pemerintah yang terlalu dominan juga dapat
mematikan motivasi dan kreasi dari masyarakat untuk dapat berkembang dan
bersaing sehat.
Monopoli : suatu bentuk pemusatan ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga tidak
memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti keinginan sang
monopoli.
Meskipun pada awal
perkembangan perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi pancasila, ekonomi
Demokrasi, dan ‘mungkin campuran’, namun bukan berarti sistem perekonomian
liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia. Awal tahun1950-an
sampai dengan tahun 1957-an merupakan bukti sejarah adanya corak liberalis
dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan sistem etatisme, pernah juga
memberi corak perekonomian di tahun 1960-an sampai dengan pada masa orde
baru.
2. Pemerintahan Orde
Baru
Orde Baru adalah sebutan
bagai masa pemerintahan Presiden Soeharto. Orde Baru menggantikan pemerintahan
Orde Lama yang di pimpin oleh Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari
tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di
negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi
melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian
dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998.
Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik
Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri
dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September1966 mengumumkan
bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau
Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering
disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Presiden Soeharto memulai
"Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli
ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya
bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat
dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar
oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi
tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dan daerah.
Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga keturunan Tionghoa
juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai
warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas china indonesia
terutama dari komunitas pengobatan china tradisional karena pelarangan sama
sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis
dengan bahasa mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan akhirnya
Jaksa Agung indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa china
indonesia bejanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi penghormatan
bagi Ikatan Naturopatis Indonesia ( I.N.I ) yang anggota dan pengurus nya pada
waktu itu memperjuangkan hal ini demi masyarakat china indonesia dan kesehatan
rakyat indonesia. Hingga china indonesia mempunyai sedikit kebebasan dalam
menggunakan bahasa Mandarin.
Satu-satunya surat kabar
berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian
artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh
militer indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang china
indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya
agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru
berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih
5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan
dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan
apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan
dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
* Perkembangan GDP per
kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai
lebih dari AS$1.000
* Sukses transmigrasi
* Sukses KB
* Sukses memerangi buta
huruf
* Sukses swasembada pangan
* Pengangguran minimum
* Sukses REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun)\
* Sukses Gerakan Wajib
Belajar
* Sukses Gerakan Nasional
Orang-Tua Asuh
* Sukses keamanan dalam
negeri
* Investor asing mau
menanamkan modal di Indonesia
* Sukses menumbuhkan rasa
nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
§ Semaraknya korupsi, kolusi
dan nepotisme
§ Pembangunan Indonesia yang
tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah,
sebagian lagi disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat.
§ Munculnya rasa
ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan terutama di
Aceh dan Papua.
§ Kecemburuan antara penduduk
setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang
cukup besar pada tahun-tahun pertannya.
§ Bertambahnya kesenjangan
sosial diakibatkan karena perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi yang kaya
dan yang miskin.
§ Pelanggaran HAM kepada
masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa).
§ Kritik dibungkam dan
oposisi diharamkan.
§ Kebebasan pers sangat
terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel.
§ Penggunaan kekerasan untuk
menciptakan keamanan, antara lain dengan program “penembakan misterius”.
§ Tidak ada rencana suksesi
(penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).
§ Menurut kualitas birokrasi
Indonesia yang terjangkit penyakit ‘Asal Bapak Senang’, hal ini adalah
kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara
pasti hancur.
§ Menurunnya kualitas tentara
karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan
kesejahteraan anak buah.
Pada pertengahan 1997,
Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat:
Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan
harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah
jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran,
yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di
tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21
Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto
kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden
ketiga Indonesia.
Penyebab utama runtuhnya
kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997
kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang
melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara
kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat
mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang
digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan
ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu
me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat
keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto,
Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian
diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden
Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet
Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas
menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU
Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum
bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet
Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya.
Mundurnya Soeharto dari
jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru,
untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".
3. Pemerintahan
Transisi
Krisis finansial Asia yang
menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ
aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto
semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu
Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir
diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri,
Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Pemerintahan transisi
merupakan peralihan antara pemerintahan zaman Soeharto ke pemerintahan B.J.
Habibie.
4. Pemerintahan
Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998
Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan
menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini
menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Sidang Istimewa MPR yang
mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari
puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang
demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18
orang.
Masa pemerintahan Habibie
ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk
membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan
pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie
mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik
dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari
setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang.
Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru
dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan
politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas
tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta
pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan
karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh
Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan,
kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Ketika Habibie mengganti
Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus
dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang ingin
memisahkan diri dari Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya,
kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e. masa depan perekonomian dan kesejahteraan
rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil
dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari
masyarakat.
a. Kebijakan dalam bidang
politik
Reformasi dalam bidang
politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga
undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang
tersebut.
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang
partai politik
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum.
3. UU No. 4 Tahun 1999 tentang
Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
b. Kebijakan dalam bidang
ekonomi
Untuk memperbaiki
perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah
mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
c. Kebebasan menyampaikan
pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan
pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari
munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat
bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan
dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi
dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha
Penerbitan (SIUP).
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan
Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan
presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik.
Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur.
Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah
Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur.
Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah
pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari
Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh
dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama
Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
5. Pemerintahan
Gotong Royong
Kabinet Gotong Royong
adalah kabinet pemerintahan Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri
(2001-2004). Kabinet ini dilantik pada tahun 2001 dan masa baktinya berakhir
pada tahun 2004.
Kinerja Pemerintahan
Megawati Soekarnoputri sangat mengecewakan. Megawati tidak tampil sebagai
seorang presiden, melainkan lebih sebagai ketua umum partai. Akibatnya, roda
pemerintahan tidak berjalan sebagaimana diharapkan banyak orang dan cita-cita
reformasi.
Penilaian itu dilontarkan
Kelompok Kerja (Pokja) Petisi 50 dalam evaluasi akhir tahun Petisi 50 yang
berjudul "Catatan Akhir Tahun 2002, Pernyataan Keperihatinan".
Sebagai pemimpin bangsa,
menurut Petisi 50, Presiden Megawati sangat mudah dipengaruhi. Selain itu, para
pembantunya di jajaran kabinet kelihatan sangat tidak solid. Hal itu terjadi
karena para menteri masing-masing mengusung kepentingan partai politik (parpol)
dari mana mereka berasal.
6. Pemerintahan
Indonesia Bersatu
PEMERINTAHAN
INDONESIA BERSATU JILID I (ERA SBY-JK) == (2004-2009)
Kabinet Indonesia Bersatu (Inggris: United Indonesia Cabinet) adalahkabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya,
dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya,
Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.
Susunan Kabinet Indonesia Bersatu pada awal pembentukan (21 Oktober 2004),
perombakan pertama (7 Desember 2005), dan perombakan kedua (9 Mei 2007)
Pada periode ini,
pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu
ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri
dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang
ditargetkan meskipun masih banyakkekurangan disana-sini.
PEMERINTAHAN
INDONESIA BERSATU JILID II (ERA SBY – BOEDIONO) == (2009-2014)
Kabinet Indonesia Bersatu II (Inggris: Second United Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Susunan kabinet
ini berasal dari usulan partai politik pengusul pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009yang mendapatkan kursi di DPR (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah Partai Golkar yang bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada
Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II
diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober2009 dan dilantik
sehari setelahnya. Pada 19 Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan.
Pada periode ini,
pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
1. BI rate
2. Nilai tukar
3. Operasi moneter
4. Kebijakan makroprudensial
untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan kebijakan-kebijakan
ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat
Indonesia.
Kinerja Pemerintahan SBY - Tak terasa
sudah 1 tahun pemerintahan SBY jilid II berjalan, Namun masih
saja dianggap gagal serta mendapat rapor merah dari beberapa kalangan. Dan kali
ini pengamat ekonomi dunia pun ikut bicara terkait dengan kinerja pemerintahan SBY yang sudah 1 tahun
ini. Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di
parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono untuk melakukan langkah-langkah yang konkrit dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Di mata pengamat ekonomi
politik dari Northwestern University, Amerika Serikat, Prof Jeffrey Winters,
buruknya kinerja pemerintahan SBY tidak lepas dari
sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahan. SBY dianggap lebih suka
terlihat cantik, santun dan berambut rapi di depan kamera dibanding bekerja
keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.
Apa pandangan Anda terhadap
kinerja SBY-Boediono selama menjalankan pemerintahan?
Sampai saat ini
dilihat kinerja pemerintahan SBY-Boediono rendah. Dan perlu
dicatat prestasi yang rendah kepemimpinan SBY bukan sesuatu yang baru. Karena
sejak 2004 memang kinerjanya tidak pernah tinggi. Jadi kombinasi SBY-Kalla yang
sudah mengecewakan menjadi lebih parah dengan kombinasi SBY-Boediono.
Meski pada masa SBY-JK
kinerjanya buruk, paling tidak Jusuf Kalla dikenal sebagai orang yang tidak
sabar dan sering mendorong SBY untuk bertindak dan ambil keputusan. Tetapi
akhirnya Kalla menjadi capek, frustrasi dan memilih lepas saja.
Kinerja para menteri terkait dengan
performa pemimpinnya. Karena sikap presidennya sebagai leader tidak bagus tentu
saja para menterinya juga tidak bagus kerjanya. Apalagi pemilihan anggota
kabinet berdasarkan bagi-bagi kekuasaan supaya aman di parlemen. Hasilnya yang terjadi
pemilihan bukan berdasarkan kapabilitas dan akuntabilitas. Melainkan berdasarkan
jatah anggota koalisi.
0 komentar:
Posting Komentar